Jokowi intervensi KPK soal kasus Setnov hanya rumor?
Pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015-2019, Agus Rahardjo, tentang adanya intervensi Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar menyetop penyidikan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (KTP-el), yang menjerat bekas Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, bikin geger. Apalagi, beberapa koleganya saat di KPK membenarkannya.
Eks penyidik senior KPK, Novel Baswedan, misalnya. Ia mengamini pernyataan tersebut. Bahkan, Agus sempat ingin mengundurkan diri dari jabatannya akibat intervensi itu.
"Dalam komitmen perkara SN (Setya Novanto) tetap dijalankan, itu Pak Agus pernah mau mengundurkan diri," ungkap Wakil Kepala Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Pencegahan Korupsi Polri ini kepada wartawan di Markas Bareskrim Polri, Jakarta, pada Jumat (1/12).
Pun demikian dengan Wakil Ketua KPK 2015-2019 dan 2019-2024, Alexander Marwata. Namun, sambungnya, permintaan Jokowi ditolak karena pimpinan KPK telah menandatangani surat perintah penyidikan (sprindik) kasus KTP-el.
"Pak Agus pernah bercerita kejadian itu ke pimpinan," kata Alex saat dikonfirmasi. Kasus tersebut berlangsung sebelum revisi Undang-Undang (UU) KPK, yang mulanya tidak ada mekanisme menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Sementara itu, pihak Istana membantah pernyataan Agus. Dalihnya, tidak pernah ada agenda pertemuan Jokowi dengan Agus pada 2017.
"Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden," ujar Koordinator Staf Khusus Presiden Jokowi, Ari Dwipayana, dalam keterangannya.
Ia pun sesumbar bahwa Jokowi tidak melakukan intervensi. Kilahnya, proses hukum terus berjalan hingga akhirnya Novanto kini menjalani hukumannya.
"Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap," tuturnya.
Tanggapan kubu Prabowo
Terpisah, Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka enggan mengomentari masalah ini. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan, salah satu pendukung Prabowo-Gibran, justru meminta wartawa untuk meminta klarifikasi kepada aparat penegak hukum.
"Tanya sama aparat hukumlah, ya. Tanya sama aparat," katanya usai Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) TKN-Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran se-Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta.
Zulhas, sapaannya, juga tidak mau mengomentari soal dampak pernyataan Agus tersebut terhadap Prabowo-Gibran, yang dijagokan Jokowi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun, ia meyakini pasangan calon (paslon) nomor urut 2 itu akan memenangkan kontestasi.
Sementara itu, Sekretaris TKN Prabowo-Gibran, Nusron Wahid, meminta Agus pertanggungjawaban ucapannya. Menurutnya, ini bisa diwujudkan dengan bukti yang jelas.
Apalagi, sambungnya, Agus adalah mantan penegak hukum. Dengan begitu, Agus harus memiliki dua alat bukti yang cukup sebelum melontarkan pernyataan tersebut.
"Yang namanya pengakuan sepihak itu butuh bukti. Pak Agus Raharjo yang kita hormati, kita sangat hormat pada beliau, tapi yang namanya pengakuan itu, kan, enggak boleh sepihak," tuturnya.
Politikus Partai Golkar ini lantas menantang Agus menunjukkan bukti yang mendukung pernyataannya, seperti waktu kejadian, foto, hingga rekanan kamera pengawas (CCTV). "Jangan hanya klaim-klaim saja dan rumor."
Jika tidak, bagi Nusron, Agus hanya melontarkan rumor yang tidak bisa dibuktikan. Kendati begitu, ia meyakini Agus takkan memberikan pernyataan lebih jauh tentang isu tersebut.
Duduk perkara
KPK menetapkan Setnov, sapaan Novanto, sebagai tersangka kasus korupsi KTP-el pada 17 Juli 2017. Perannya, yakni ikut memuluskan dan mengatur besaran anggaran proyek sebesar Rp5,9 triliun, terbongkar dalam dakwaan dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Sugiharto dan Irman.
Dari total nilai pekerjaan, rencananya sebesar Rp2,662 triliun (51%) untuk belanja modal dan Rp2,558 triliun (49%) sisanya dibagi-bagi kepada sejumlah pihak. Besaran pembagiannya adalah Rp365,4 miliar (7%) untuk pejabat Kemendagri, anggota Komisi II DPR Rp261 miliar (5%), rekanan/pelaksana proyek Rp783 miliar (15%), Setnov dan pengusaha Andi Narogong Rp574,2 miliar (11%), serta Ketua Umum dan Bendahara Umum Partai Demokrat kala itu, Anas Urbaningrum dan M. Nazaruddin, Rp574,2 miliar (11%).
Setnov lantas mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), September 2017. Gugatannya dikabulkan sehingga penetapannya sebagai tersangka gugur dan memerintahkan KPK menyetop penyidikan terhadapnya.
KPK pun tetap gigih. Pada 31 Oktober 2017, Setnov kembali ditetapkan sebagai tersangka kasus sama dengan alasan mengantongi alat bukti yang cukup.
Setnov kemudian selalu menghindari agenda pemeriksaan sehingga KPK melakukan jemput paksa terhadapnya di kediamannya, 15 November 2017. Sehari berselang, ia dilaporkan mengalami kecelakaan hingga dirawat di Rumah Sakit (RS) Medika Permata Hijau, Jakarta.
Selanjutnya, 17 November, KPK menerbitkan surat penahanan terhadap Setnov. Ia pun mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK.
Dalam persidangan putusan, 24 April 2018, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonisnya 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Pangkalnya, dinilai terbukti bersalah dalam kasus korupsi KTP-el.
Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti US$7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang telah dititpkan kepada penyidikan serta dicabut hak politiknya selama 5 tahun usai menjalani hukuman. Hingga kini, Setnov masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung.